Sabtu, 25 Oktober 2014
Jakarta – Pembentukan kabinet bersih dan profesional merupakan batu ujian utama dari integritas kepemimpinan dan legitimasi politik Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Legitimasi itu bisa bertambah atau menjadi defisit tergantung bagaimana kemampuan Jokowi mengambil keputusan untuk pemerintahannya.
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII), Raja Juli Antoni, mengatkaan Jokowi-JK mengalami surplus legitimasi sampai proses pelantikannya.
Namun, rencana pengumuman kabinet di Tanjuang Priok yang batal mulai menjadi tanda tanya bagi publik tentang independensi dan otonomi Jokowi sebagai presiden dari intervensi politik termasuk dari ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri.
Tergerusnya legitimasi Jokowi juga bisa terjadi bila dia tidak mengindahkan rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan memaksakan nama-nama kandidat menteri yang diberi tanda merah atau kuning.
“Kemungkinan tergerusnya legitimasi Jokowi bertambah ketika beredar isu bahwa Jokowi memakai nama-nama lama dan bukan profesional terbaik di bidangnya,” kata Raja Juli Antoni, di Jakarta, Sabtu (25/10).
Dia memberi contoh, Kementerian Pertahanan yang sejak era reformasi dipercayakan kepada sipil kabarnya akan dipercayakan kepada Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu. Mantan Kepala Staf Angkatan Daerah (Kasad) tersebut dinilai memiliki gaya komunikasi yang kaku.
Munculnya nama Jenderal (Purn) Wiranto juga patut disayangkan. Selain terlalu senior, Wiranto diduga keras terlibat dalam panggaran hak asasi manusia (HAM) selama ia bertugas di militer.
“Padahal ada beberapa nama, profesional muda seperti Andi Widjajanto, Rizal Sukma atau Jaleswari Pramoedhawardani, yang selama ini sudah berada di sekeliling Jokowi,” kata Raja Juli.
Begitu juga posisi Menteri Luar Negeri yang kabarnya akan dipercayakan kepada Retno Marsudi, yang ditengarai titipan dari ketua umum PDI-P. Menurut informasi dari internal Kemenlu, Retno adalah diplomat karir yang prestasinya tidak mencolok.
Padahal, di internal Deplu, ada diplomat profesional berprestasi seperti Havaz Oegroseno, Andri Hadi, atau Umar Hadi yang merupakan Konjen Indonesia di Los Angeles.
“Atau bila melihat kompleksitas reformasi internal yang dihadapi Deplu serta tantangan ke depan, di mana Kemenlu sebagai marketing ekonomi Indonesia, Jokowi mestinya bisa memilih calon menteri dari pejabat non-karir seperi Rizal Sukma Direktur Eksekutif CSIS atau Hikmahanto Juwana yang Guru Besar UI,” bebernya.
Lebih dari itu, dia menilai pembentukan kabinet sebaiknya memperhatikan aspek struktur sosiologis-kultural bangsa Indonesia. Kelompok minoritas mesti diakomodasi di kabinet. Begitu pula NU dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di Indonesia mesti diakomodasi di jajaran kabinet.
Sebab, menurutnya, Jokowi memerlukan dukungan politik dari kedua ormas itu, terutama dalam konteks Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia.
Sekaligus guna melibatkan dukungan kedua ormas itu dalam menangkal gerakan Islam radikal yang potensial merusak sendi-sendi kebangsaan Indonesia sebagai negara plural berbasiskan Pancasila.
“Secara konvensional NU wajar mendapatkan posisi Menteri Agama dan Muhammadiyah menduduki Menteri Pendidikan atau Kesehatan,” imbuhnya.
http://www.beritasatu.com/nasional/220023-salah-pilih-menteri-legitimasi-jokowijk-bisa-tergerus.html