KOMPAS – Rabu, 10 Oct 2007
Hakikat puasa menurut Imam Al Syatibi adalah al-imsak, yaitu kemampuan diri untuk menahan atau mencegah kecenderungan negatif dari dalam diri. Kita menahan diri untuk tidak marah, tidak melakukan tindak kekerasan dan vandalisme, serta tidak melakukan pemaksaan.
Sayangnya, Ramadhan kali ini masih diwarnai tindak kekerasan yang memaksa orang lain untuk menghormati kita yang sedang berpuasa.
Meski dalihnya menjaga “ketertiban dan kelancaran berpuasa”, pada hakikatnya pemaksaan dan kekerasan itu justru memalingkan substansi puasa itu sendiri.
Bukankah dalam sehari paling tidak lima kali menyatakan bahwa hidup kita, shalat kita, dan segala yang kita lakukan untuk mencari rida Allah SWT. Jadi bukan untuk memaksa orang lain menghargai ibadah kita.
Al-imsak dalam konteks ini juga bermakna menahan diri untuk tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Warung nasi yang tetap buka pada siang hari di bulan Ramadhan sekadar untuk mencari tambahan rezeki Allah, tidak luput dari tuduhan negatif. Pemilik warung dianggap sebagai butho pendosa karena memfasilitasi orang-orang yang tidak berpuasa.
Padahal, belum tentu orang yang “singgah” di warung-warung makan tersebut adalah para pendosa. Bukankah Allah SWT mewajibkan puasa kepada hamba-Nya (QS 2:183) diikuti dengan pengecualian (QS 2:184) terhadap orang yang sakit, para musafir, dan bagi orang yang berat menjalankannya seperti orang tua, perempuan hamil dan menyusui. Belum lagi bagi para perempuan yang sedang haid, puasa jelas-jelas haram hukumnya.
Bukankah iman yang baik adalah iman yang selamat dari godaan, bukan iman yang sepi dari ujian. Kemampuan untuk toleran kepada orang yang tidak berpuasa bisa dilihat sebagai usaha menahan godaan.
Bukankah para wali di Tanah Jawa yang sering dipanggil sebagai Wali Sanga mengajarkan kepada kita bagaimana membangun teologi dakwah yang kokoh, dan damai. Bisakah dibayangkan, jika dakwah Islam ketika pertama kali masuk ke Indonesia dilakukan dengan serangkaian ancaman dan aksi kekerasan.
Kita kemudian berpikir, apakah ini merupakan bukti dari kegagalan dakwah Islam sekarang? Kita sering melihat orang berpuasa, kok 3N, ngambekan, ngamukan, ngrasani orang.
Salah satu tokoh partai Islam sekarang ini pernah juga mengungkapkan bahwa pelacur sekalipun seharusnya berhak mendapat dakwah kita. Dakwah bukan dengan menyalahkan, memojokkan, menggurui, dan memvonis sebagai pendosa yang harus dilenyapkan, tetapi dakwah seperti sinar matahari yang menyinari bumi. Sinarnya tidak ada pilih kasih. Apakah dia seorang ustadz, pendeta, biksu, sopir, maling, tumbuhan, dan binatang, semua makhluk mendapat rahmat, paling tidak rahmat untuk hidup dan berkembang biak. Semua itu diciptakan bukan dengan kesia-siaan.
Raja Juli Antoni Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity