Skip to content

Pluralisme: Visi Keindonesiaan Lemah, Agama Jadi Pelarian

KOMPAS – Selasa, 13 Nov 2007

Semangat pluralisme dalam masyarakat Indonesia kian melemah. Transisi politik yang tidak jelas dan mengaburkan visi keindonesiaan membuat penghargaan atas sesama anak bangsa semakin menurun.

Direktur Eksekutif The Wahid Institute Ahmad Suaedy di Jakarta, Senin (12/11), mengatakan, pluralisme sebenarnya tidak menjadi masalah dalam budaya bangsa Indonesia. Rasisme hampir tidak ditemukan dalam tradisi masyarakat. Namun, penurunan semangat pluralisme dipicu oleh tidak adanya perubahan visi kebangsaan selama proses transisi dari rezim otoritarian ke sistem yang terbuka.

Masalah sosial yang semula diselesaikan dengan kekerasan negara berubah menjadi penyelesaian berbasis mekanisme sosial masyarakat. “Bila basis kultural tidak dikendalikan visi yang jelas, akan membuat kohesivitas masyarakat renggang,” kata Suaedy.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Maarif Institute Raja Juli Antoni menambahkan, melemahnya visi kebangsaan Indonesia juga disebabkan oleh transisi politik yang tidak jelas ujungnya. Reformasi yang menjanjikan perubahan ternyata hanya memberi janji palsu. “Transisi yang berlarut-larut membuat apresiasi masyarakat terhadap pluralisme menurun,” katanya.

Ketidakjelasan visi keindonesiaan membuat agama menjadi tempat pelarian. Identitas agama dinilai lebih mampu memberi arah bagi kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

Di negara-negara yang sistemnya kuat, lanjut Suaedy, hukum dikedepankan sebagai solusi atas berbagai masalah bangsa. Namun, lemahnya penegakan hukum di Indonesia membuat masyarakat mengandalkan agama yang bersifat eksklusif.

Presiden dan pemerintah seharusnya memberi visi baru bagi masyarakat. Kebhinnekaan yang dulu dimaknai sacara otoriter harus dibangun kembali dengan visi sosial yang mampu menumbuhkan solidaritas masyarakat secara mandiri tanpa diatur negara.

Tokoh masyarakat, baik tokoh agama, sosial, maupun tokoh politik, seharusnya memberi visi baru keindonesiaan ini. Mereka seharusnya lebih banyak mendengar dan menangkap aspirasi masyarakat. Namun, hal ini justru jarang dilakukan karena masing-masing pihak justru lebih berorientasi mengejar kepentingan politik sendiri.(MZW)

Bagikan!