Ayahnya adalah tipikal aktivis Muhammadiyah yang total mengabdikan dirinya untuk dakwah dan pelayanan umat. Menurut cerita Toni, dia sering duduk mendampingi ayahnya menerima tamu-tamu sesama aktivis Muhammadiyah di rumahnya, di Pekanbaru, Riau. Di usia kanak-kanak, Toni sudah terbiasa menyimak rapat dan diskusi serius mengenai berbagai aktivitas Muhammadiyah dari masalah dakwah, kesejahteraan umat, hingga pendidikan. Meskipun saya dan Toni sama-sama anak pegawai negeri yang makan beras bagian dari pemerintah, Toni sedikit lebih beruntung.
Ayahnya memberikan jatah tak terbatas untuk membeli majalah Bobo dan buku bacaan di kios majalah. Di akhir bulan, ayahnya akan membayar semua majalah dan buku yang Toni beli. Ketika saya mendengar privalage yang Toni dapat dari ayahnya ini, betapa irinya saya. Karena ketika kecil, berlangganan majaah Bobo buat saya cuma mimpi. Saya harus puas membaca majalah Kuncung yang dibagikan gratis di SD inpres.
Darah aktivis yang diturunkan ayahnya serta bacaannya yang luas, membuat alam pikiran Toni di atas rata-rata remaja sebayanya. Saya masih ingat, pada suatu sore di bawah tiang jemuran depan asrama, menyimak Toni yang tengah mendiskusikan sebuah tema serius yang bahkan saya tak pahami. Di tangannya sebuah buku berjudul Secangkir Kopi Jon Pakir, buku karya Emha Ainun Nadjib, yang kemudian ia pinjamkan kepada saya. Buku ini mengubah hidup saya berikutnya.
Saya tak akan pernah lupa salah satu tulisan Emha tentang tukang kacang di buku itu. Di sana, Emha bercerita tentang jamaah pengajian yang menggerutu karena terganggu suara tukang kacang yang berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Menanggapi komplain jamaah pengajian, sang ustad mengatakan bahwa tukang kacang itu adalah simbol keberanian dan ketawakalan. “Siapa di antara kalian yang berani menjadi tukang kacang itu? Malam-malam saat orang tidur, keluar berdagang dengan keyakinan bahwa Allah akan mengirimkan pembeli?” Kira-kira begitu ucapan ustad yang membuat para jamaah pengajian tertunduk malu. Saya pun terhenyak. Saya yang saat itu masih berumur 13 tahun, terkesima dengan indahnya akrobat kata-kata dan permainan logika Emha yang memaksa saya memikirkan sesuatu yang tak pernah saya pikirkan.
Dari sanalah saya keranjingan Emha. Setiap ada waktu luang di sela-sela pelajaran, saya pergi ke perpustakaan membuka majalan Panjimas edisi lama yang sudah berdebu, lalu membaca setiap kolom Emha. Emha menjadi inspirasi pertama saya untuk menjadi seorang penulis dan menumbuhkan minat saya pada filsafat dan tasawuf. Dan itu gara-gara buku yang dipinjamkan Toni.
Kegemaran saya dalam tulis-menulis tersalurkan saat Toni naik takhta jadi ketua IRM (organisasi sekolah seperti OSIS). Saya diberi wewenang untuk mendirikan majalah sekolah pertama dalam sejarah pesantren kami. Saya memberi nama majalah itu PesanTRenD. Di edisi pertama, rubrik cerpen diisi sebuah cerpen karya Toni berjudul “Selamat Tinggal Ayu!”. Sebuah cerpen yang gayanya mirip-mirip cerpen karya dr. Faisal Baraas, seorang dokter yang menulis secara rutin di Republika. Salah satu cerpen Faisal Baraas berjudul “Sarah”, menjadi semacam cerpen jimat bagi saya, Toni, dan beberapa teman lain yang sealiran. Cerpen itu menceritakan tentang cinta platonis, cinta yang tak pernah diungkapkan, hanya di awang-awang.
Lulus dari pesantren, Toni yang keras dan suka tantangan memilih kuliah di Jakarta. Sementara saya yang suka zona nyaman memilih Bandung. Hingga suatu hari Toni mengajak saya untuk aktif di Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhamamdiyah di Jakarta. Sebagai orang Sunda yang dimanjakan indahnya tanah Parahyangan, bagi saya Ibu Kota lebih menakutkan daripada ibu tiri. Tapi bukan “Raja” Juli Antoni kalau tidak bisa memaksa orang untuk mengikuti keinginannya. Toni berhasil memaksa saya keluar dari zona nyaman. Sesuatu yang saya syukuri di kemudian hari.
Berkat ajakan Toni itu, saya berhasil memperluas radius gaul saya. Menanggungjawabi program pendidikan perdamaian di 10 kota besar di Indonesia memberi kesempatan saya keliling Indonesia hingga terbang ke Kamboja untuk acara Youth Camp For Peace. Itulah gerbang pertama yang mengantarkan saya ke Eropa, Australia, dan Amerika di tahun-tahun berikutnya. Jika saja Toni tak menarik-paksa saya dari zona nyaman, mungkin sekarang saya masih jadi si Kabayan yang sedang meniup seruling di atas punggung kerbau di bentangan sawah Parahyangan yang indah.
Ketika saya tengah asyik-asyiknya bekerja di Mizan, Toni-lah yang sering manas-manasi saya untuk melanjutkan S2 ke luar negeri. Sepulang S2 di Inggris, Toni yang aktif sebagai biro luar negeri Muhammadiyah ini merekomendasikan saya untuk melamar beasiswa S2 di Inggris. Saya lolos hingga tahap akhir wawancara. Namun, seperti saya ceritakan di bagian sebelumnya, saya tidak jadi mengambil beasiswa ini.
Setelah mengantongi gelar master studi perdamaian di Brandford Inggris dengan beasiswa dari Cheveing, Toni berkarier di dunia LSM dengan menjadi Direktur Maarif Institute beberapa tahun, dan mengantarkan lembaga itu pada puncak kegemilangan. Kini Toni tengah menyelesaikan S3 di Quensland University Brisbane Australia dengan beasiswa dari ADS. Ketika saya minta tips sukses studi di luar negeri, dia enggan. “Hidup tak semudah kata-kata mutiara Mario Teguh,” katanya. Tapi karena saya paksa, akhirnya dia memberi tujuh tips berikut ini …
1. Pastikan Anda memiliki niat baja dan tekad karang. Mendapatkan beasiswa sekolah ke LN “gampang-gampang sulit” bergantung kasus orang per orang. Secara umum, pencari beasiswa bakal menghadapi banyak rintangan dan cobaan. Niat dan tekad adalah motivasi sekaligus energi. Bila dalam satu titik Anda tersungkur, niat baja dan tekad karang yang akan membantu Anda berdiri dan bangkit kembali.
2. Bahasa asing (terutama Inggris) acap menjadi tantangan anak muda Indonesia mendapatkan beasiswa ke LN. Tapi banyak cerita sukses bahkan di usia yang sudah tidak muda pencari beasiswa berhasil menaklukkan njlimet-nya TOEFL dan IELTS. Kuncinya tiga: 1. Tekun, 2. Tekun, dan 3. Tekun.
3. Pelajari “karakter” beasiswa yang Anda sasar. Lembaga pemberi beasiswa selalu memberi kata pengantar dalam pengumuman mereka. Anda salah bila menganggap hal ini “hanya” sekadar “kata pengantar”. Dari kata pengantar inilah Anda akan mengetahui kenapa mereka memberi beasiswa, kepada siapa, untuk apa, apa orientasi beasiswa ini, kelompok prioritas penerima beasiwa, dan sebagainya. Lebih penting lagi, dari kata pengantar itu Anda akan menemukan “kata-kata kunci” yang bisa dipakai dalam pengisian formulir beasiswa untuk meluluhkan hati dan menjinakkan otak pemberi beasiswa.
4. Isi formulir pendaftaran beasiswa dengan percaya diri. Tampilkan seluruh potensi Anda dalam formulir tersebut. Dobrak budaya kebanyakan yang cenderung mengajarkan rendah diri dan menghalangi menonjolkan diri pribadi.
5. Bergabunglah dengan mailing list para pencari beasiswa. Di sana Anda akan bertemu dengan kawan senasib sepenanggungan. Jangan malu bertanya, karena malu bertanya membuat Anda tidak tambah pintar.
6. Terus belajar dan berdoa. Tapi pastikan lebih banyak waktu untuk belajar daripada berdoa karena Anda sedang mencari beasiswa bukan sedang mengintai lailatul qadar hehehe ….
Sumber: Irfan Amalee, Beasiswa di Bawah Telapak Kaki Ibu, Mizan Publishing, Juni 2013