Skip to content

Antiterorisme: Terorisme Tak Selalu Berkarakter Agama

KOMPAS – Sabtu, 14 Nov 2009

Meski melibatkan umat beragama, terorisme tidak selalu berkarakter agama. Banyak kasus terorisme yang muncul sebagai respons atas ketidakadilan, kemiskinan, atau penjajahan yang dilakukan negara lain.

Demikian diungkapkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi dalam konferensi pers terkait penyelenggaraan lokakarya peningkatan kesadaran organisasi masyarakat sipil se-Asia Tenggara dalam menghadapi terorisme di Jakarta, Kamis (12/11). “Karakter non-agama dalam terorisme itu tak dipahami negara Barat,” katanya.

Oleh karena itu, peningkatan status Desk Antiteror di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menjadi Badan Antiteror dalam Program 100 Hari Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono seharusnya melibatkan ahli dari berbagai segi, tidak hanya ahli keamanan. Badan itu memerlukan ahli agama yang bisa mengaitkan antara ideologi, pendidikan, dan kondisi multikultur di Indonesia.

Hasyim mengatakan, pemberantasan terorisme beberapa bulan terakhir untuk mengejar pelaku pengeboman Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz- Carlton, Jakarta, dilakukan hanya dengan pendekatan keamanan. Akibatnya, sebagian besar pelaku yang dicari mati tertembak dalam proses penyergapan.

Padahal, lanjutnya, proses penindakan pelaku teror di Indonesia pada kurun 2001-2005 banyak dipuji negara Timur Tengah dan Barat. Penegakan hukum pada teroris dilakukan melalui proses pengadilan, sebuah hal yang tidak terjadi di negara lain yang justru dilakukan dengan melanggar hak asasi manusia (HAM).

“Indonesia berhasil memberantas terorisme dengan memerangi terornya dan faktor ‘isme’-nya,” katanya.

Pola pencegahan paham terorisme yang dilakukan Barat dengan mendukung pemahaman agama liberal justru memunculkan terorisme model baru. Sementara itu, mengajak kelompok fundamental untuk memberantas terorisme tidak mungkin dilakukan sebab mereka adalah bagian dari tindak terorisme itu. Karena itu, gerakan agama moderat seperti yang dilakukan NU dianggap sebagai jalan tengah menangkal paham teror.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Maarif Institute Raja Juli Antoni mengatakan, meski sasaran pelaku teror adalah pemuda, tak ada upaya nyata dari pemerintah untuk mengajak organisasi kepemudaan Islam untuk melakukan deradikalisasi di kalangan pemuda.

Di sisi lain, organisasi kepemudaan Islam selama ini justru terjebak dalam persoalan politik dan abai dengan kegiatan kultural. Mereka justru tidak mampu menjangkau kelompok pemuda yang haus akan semangat keagamaan. Peran itu justru diambil kelompok agama radikal yang memberikan kehangatan ekspresi spiritual yang mereka butuhkan.

Antoni juga mengatakan, upaya deradikalisasi yang dilakukan pemerintah masih bersifat sektoral, juga tak jelas sasaran dan hasil yang diinginkan.(mzw)

Bagikan!