Sejak masih dalam rahim, suara bias sarat ketidakadilan itu sudah acap terdengar. Kadang dibungkus dengan semacam doa dan harapan. Tapi tetap saja menebar aroma tidak sedap penuh ketidakadilan.
“Hamil lagi ya? Alhamdulillah, mudah-mudahan cowok ya!”
“Rajin benar? Penasaran nyari cowok ya.”
“Kalau gak cowok, gak boleh dibalikin loh.”
“Jangan putus asa, kalau sekarang cewek, coba lagi.”
“Wah..kalau lihat bentuk perut mamanya, kayaknya cowok nih.”
Banyak lagi ekspresi berbeda dengan nada dan irama yang sama: laki-laki lebih maju selangkah, tinggi sejengkal dari perempuan.
Mama yang pernah bekerja di sebuah lembaga perempuan pimpinan (mantan) ibu negara sering gatal-gatal mendengar celotehan itu. Tanpa pernah membuat kesepakatan mama dan ayah punya cara halus membalasnya omongan mereka.
“Amien. Doakan saja. Yang penting proses lahirannya lancar. Cewek dan cowok kan sama saja. Yang penting sehat.” Begitu kira-kira kata ayah dan mama.
Kelahiranmu tentu membuat hati kami berbunga-bunga. Kamu sehat seperti yang diharapkan. Banyak sahabat yg turut merakayakannya dengan berbagai cara. Tapi suara ketidakadilan itu, ternyata, tidak kunjung reda. Ada saja, nyempil, di tengah kembang bahagia.
“Alhamdulillah. Akhirnya dapat cowok juga. Lain loh punya anak cowok itu.”
“Sukurlah ada cowok satu untuk ngawal kakak-kakaknya nanti kalau sudah gede.”
“Akhirnya, kerja keras ada hasilnya.”
“Gak penasaran lagi kan?”
“Senang sekali dapat jagoan. Aku pengen banget dapet anak cowok. Bagaimana caranya?”
…dan banyak lagi sms dan whatapp dengan nada serupa. Mungkin itu hanya semacam canda gula-garam obrolan senja. Tapi ada ke khawatiran disana. Ini adalah budaya. Budaya yang berubah menjadi canda. Menjadi biasa dan tidak perlu lagi tanda tanya.
***
Engkau tentu saja spesial. Bahkan sangat spesial. Bila kelaminmu berbeda dengan ketiga kakakmu, bukan itu alasan kau menjadi lebih spesial. Semua sangat spesial karena perbedaan yang kalian miliki.
Kaummu memang telah lama punya kelebihan karena agama dan budaya. Sulit menolaknya karena telah berurat-berakar. Tengoklah nanti isi dunia. Ada laki-laki tidak berpendidikan tidak jelas pula apa kerjanya. Ya, tapi karena kelaminnya yang beda dengan istrinya, dia masih ingin disapa sebagai kepala keluarga. Hitam-putih keputusan keluarga mesti meluncur dari mulutnya. Istrinya pontang-panting bekerja, toh tiap pamitan istrinya lah yang mencium tangannya. Tanda hormat kepada kepala kelurga katanya. Istrinya tidak hanya mencari ma’isyah di luar rumah tapi juga menjadi pembantu: menyuci dan menyetrika baju suami dan anak-anaknya. Lagi-lagi agama dan budaya memperkuat posisinya.
Dalam cerita lain, laki-laki yang lebih beruntung, punya uang dan kuasa, bisa lebih dari penjajah. Istri seolah telah dibelinya. Kekerasan adalah salah satu yang biasa saja. Poligami mendadak menjadi pilihan melaksanakan sunnah.
Semua dinikmati sebagai sebuah kemewahan. Siapa pula yang ingin melepas kemewahan yang disediakan seketika dikeluarkan dari rahim kecuali “orang gila”.
Kelak engkau harus berdiri dalam barisan terdepan para “orang tidak waras” itu. Keistimewaan harus direbut dan diperjuangkan bukan karena kelaminmu. Engkau mulia karena kedalaman ilmumu. Engkau dihargai karena kebaikan yang kau tanam sejak lama. Engkau ditinggikan karena dermamu. Bukan karena tiba-tiba. Bukan karena perbedaan bentuk daging di pagkal paha kita.
***
Hari itu hari mulia. Mama dan ayahmu tidak pernah memilih hari. Semua hari adalah hari Tuhan untuk manusia. 17 Agustus 2015. Persis 70 tahun para pahlawan mengusir pembawa ketidakadilan. Meskipun ternyata, setelah tujuh puluh tahun, ketidakadilan itu masih setia bersama kita.
Waktu terasa lama sampai seorang suster memanggil: “keluarga Ibu Nurlaili!” Tergopoh-gopoh ayah kesana menanyakan kesehatan mu (bukan kelaminmu!) dan tentu saja kondisi mamamu.
Ayah bisikan kalimat-kalimat baik di telingamu supaya kau ingat kemulian manusia, semua manusia tanpa pandang kelamin, yang diciptakan secara sempurna oleh Yang Maha Mulia.
Dua ekor kambing, begitu anjuran agama kita, disembelih nun jauh di negeri Timor, di kampung moyangmu, jelang hari ketujuh kelahiranmu. Pada hari itu juga daftar nama-nama diputuskan. Nama Adil menjadi pilihan. Selamat datang, Adil, di dunia yang penuh ketidakadilan. Adil untuk keadilan begitu doa ayah dan mama. Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin!
Bekasi, Bintaro Agustus 2015
(Untuk ananda tercinta Raja Adil Ali Antoni)