KOMPAS – Jumat, 19 Oct 2007
Alkisah, Nasruddin Khoja berlebaran ke rumah seorang tokoh sufi terkenal yang hidup pada zamannya. Nasruddin bertanya, “Ramadhan telah kulalui dengan baik. Apa yang harus kulakukan sekarang?”
Sang tokoh menjawab, “Ramadhan emang berlalu, tapi tetaplah berpuasa sampai Ramadhan berikutnya!”
Melihat Nasrudin terbengong, tidak mengerti nasihat itu, sang tokoh menjelaskan maksudnya bahwa meskipun Ramadhan berakhir, umat Islam tetap harus berpuasa tidak marah, mencuri, berbohong, bergunjing, dan sifat tercela lainnya.
Kisah ini mencerminkan esensi terdalam dari puasa Ramadhan dan Idul Fitri yang baru kita lalui. Ramadhan “hanyalah” latihan dan sebelas bulan tersisa merupakan masa “praktikum” untuk menguji apakah latihan tersebut berhasil atau sia-sia. Rasulullah SAW pernah menyindir, “berapa banyak umatku yang berpuasa, tetapi tidak menghasilkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.”
Puncak tertinggi dari keberhasilan puasa adalah teinternalisasikannya nilai-nilai ke-Ilahi-an seperti kejujuran, optimisme, kesederhanaan, kerja keras, komitmen dan semangat kerja yang tinggi, bersih dari korupsi, dan meningkatnya kepedulian sosial untuk saling berbagi dengan sesama. Nilai-nilai tersebut dibumikan dengan senantiasa mempraktikannya dalam interaksi sosial sehari-hari pasca-Ramadhan.
Negara ini dideklarasikan sejak 1945, dan kita telah melalui enam puluh dua kali puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah ibadah puasa yang datang setiap tahun tersebut mampu menjadi pusat transformasi personal dan sosial-kultural bangsa ini?
Ziauddin Sardar, intelektual Muslim asal Inggris dan berdarah Pakistan, pernah mengingatkan tentang agama yang tidak fungsional; agama dengan sederet ritual tetapi hampa implikasi sosial. Sardar juga menekankan pentingnya kesalehan sosial di samping kesalehan individual.
Kita hidup di kawasan di mana agama fungsional dapat ditemukan dan dipelajari. Saat kita berpuasa beberapa minggu yang lalu, para pemimpin agama dan umat Buddha di Myanmar telah memberikan pelajaran bagaimana agama fungsional dapat bermain tidak hanya di ruang privat, tetapi juga di ruang publik. Ribuan bahkan jutaan biksu dan rakyat tumpah ruah di jalan-jalan kota Yangon dan sekitarnya untuk memprotes perilaku rezim junta militer yang zalim dan lalim.
Agar puasa kita fungsional, tetaplah berpuasa dari korupsi, dari membohongi, dan mengabaikan hak-hak dasar rakyat!
Raja Juli Antoni Direktur Eksekutif Maarif Institutefor Culture and Humanity, Jakarta