Skip to content

Aktivis perdamaian Indonesia, Bangkitlah!

CGNews, 20/2/2009

Seperti di bagian dunia lain, rakyat Indonesia menyaksikan peristiwa­peristiwa terkini di Gaza denga keprihatinan. Ribuan rakyat Indonesia ikut serta dalam demonstrasi­demonstrasi dan acara­acara pengumpulan dana. Kegiatan­kegiatan ini di satu pihak memang penting untuk menunjukkan ketidaksetujuan bangsa Indonesia terhadap tindakan­tindakan militer Israel serta untuk menyerukan gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan secepatnya.

Tetapi apakah aksi­aksi seperti ini bisa membantu menciptakan penyelesaian yang berkelanjutan bagi konflik ini? Mungkin sekarang merupakan saat yang tepat untuk bercermin pada upaya mereka yang terus bekerja demi perdamaian, meski dalam kondisi yang paling sulit.

Walaupun terpisah generasi, Elik – warga Negara Israel, dan Arthur – warga Negara Amerika, telah bekerja untuk mewujudkan perdamaian bagi bangsa Palestina dan bangsa Israel.

Saya pertama kali mengenal Elik ketika ia berbagi cerita pada acara Majelis Pemuda ke­8 Konferensi Dunia tentang Agama bagi perdamaian (World Conference on Religions for Peace) di Kyoto, Jepang beberapa tahun lalu.
Saudara perempuan Elik meninggal dalam sebuah ledakan bom sepuluh tahun lalu di sebuah pasar swalayan di Yerusalem.
Selama lebih dari dua minggu setelah peristiwa tersebut, Elik mengunci diri di kamarnya, berperang dengan pikiran yang berkecamuk dalam benaknya.

Ia ingin membalas dendam kepada para pelaku pemboman. Tetapi ia juga sadar bahwa balas dendam hanya akan menimbulkan balas dendam lebih besar – dan penderitaan lebih banyak.

Ia memutuskan untuk membebaskan dirinya dari lingkaran balas dendam itu dan bergabung dengan sebuah organisasi bernama Combatants for Peace (Pejuang Perdamaian), sebuah kelompok yang terdiri dari mantan pejuang­pejuang Israel dan Palestina yang percaya bahwa konflik berdarah yang terus menerus ini tidak akan pernah terselesaikan dengan senjata.

Organisasi tersebut – yang menerima penghargaan Common Ground Award pada 2007 – berjuang demi
koeksistensi damai antara bangsa Palestina dan Israel. Lain halnya dengan Arthur, saya bertemu dengannya ketika tahun lalu ia mengunjungi Indonesia untuk meluncurkan bukunya, Hebron Journal .

Art, begitu ia dikenal, adalah anggota Christian Peacemaker Teams, sebuah kelompok Kristen yang mencoba untuk mentransformasikan konflik mematikan melalui intervensi tanpa senjata dan tanpa kekerasan. Ia telah membaktikan hidupnya demi perdamaian. Di masa mudanya, ia bergabung dengan Martin Luther King, Jr. dalam gerakan hak­hak sipil di AS dan ikut serta dalam gerakan anti­Perang Vietnam pada tahun 1960­an.

Art menggunakan cara­cara non­kekerasan untuk menghadapi situasi kekerasan. Ia pernah dengan berani berdiri di hadapan sebuah tank Israel yang sedang berjalan, yang akan menghancurkan sebuah pasar Palestina pada tahun 2003. Tank tersebut berhenti hanya beberapa sentimeter di depannya sebelum mundur dan berputar balik. Ia telah dipenjarakan beberapa kali dan ikut protes­protes di mana ia pernah diludahi oleh orang­orang yang percaya bahwa ia anti­Semit dan berpihak pada bangsa Palestina.

Bagi saya, Elik dan Art adalah inspirasi karena mereka mereka berkomitmen terhadap gerakan non­kekerasan. Mereka juga menunjukkan bahwa tidak semua orang Israel dan Amerika setuju dengan kebijakan­kebijakan luar negeri pemerintahan mereka – sebuah peringatan bahwa menyamaratakan semua bangsa Yahudi, semua orang Israel atau orang Amerika, apalagi memperlakukan mereka dengan permusuhan bukanlah hal yang praktis atau realistis.

Tetapi lebih dari itu, Elik dan Art menunjukkan kemampuan mereka untuk melintasi batas­batas kelompok mereka dan mengadopsi semangat solidaritas kemanusiaan. Jika kita didorong oleh semangat itu untuk mengumpulkan dana bagi Palestina, kita seharusnya juga dapat mengulurkan tangan kita kepada bangsa Israel, ketika dan jika mereka membutuhkannya.

Karena kita menginginkan masa depan yang cerah bagi saudara­saudara kita di Palestina, kita perlu bergerak melampaui zona kenyamanan kita untuk mengadopsi pendekatan penyelesaian konflik yang lebih luas dan konstruktif baik bagi Israel maupun Palestina. Karenanya, prakarsa­prakarsa kita seharusnya tidak hanya terbatas pada mendukung bangsa Palestina, tetapi juga bekerja sama dengan kelompok­kelompok lain yang mengampanyekan perdamaian abadi di kedua negara tersebut agar mereka menjadi arus utama, dan mampu mempengaruhi perjanjian damai.

Dengan kata lain, kita membutuhkan lebih banyak “Elik” dan “Arthur”, dari Indonesia dan seluruh dunia, untuk membantu menyelesaikan konflik ini.

Raja Juli Antoni Ph.D

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 22 Februari 2009, www.commongroundnews.org

Bagikan!